Fenomena pengeksploitasian tubuh wanita sudah terjadi sejak lama. Dari hal sederhana, seperti penggunaan model wanita terutama yang difokuskan kepada bagian tubuh ataupun yang lainnya dalam iklan-iklan, media cetak maupun acara televisi, ataupun ajang seperti pemilihan wanita sejagad yang mempertontonkan keindahan tubuh wanita.
Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan
wanita dalam media, seperti media cetak dan elektronik akan lebih menarik bila
menggunakan model yang masih muda, memiliki sex appeal yang tinggi, dan bentuk
tubuh yang menarik. Aspek lainnya adalah perilaku dan aktivitas tubuh, yang
dapat dilihat dari ekspresi tubuh, seperti pose dan pakaiannya.
Media masa seringkali memuat iklan,
ataupun acara yang menunjang stereotip gender, yaitu wanita sebagai objek.
Contohlah model-model dan bintang-bintang di televisi. Tentu memiliki tubuh
yang menarik, memiliki sex appeal yang tinggi, dan aspek-aspek lain dalam
komoditi kapitalisme. Hal ini menjadi asumsi umum, sehingga wanita-wanita yang
teriming-imingi mendapatkan kesuksesan dengan cara instan, mau mempertunjukkan
tubuhnya di depan kamera, baik untuk media cetak maupun media elektronik. Hal
ini mengakibatkan fenomena eksploitasi tubuh wanita di media menjadi sebuah
rantai lingkaran.
Yang menarik kemudian adalah ketika
persoalan ini dimunculkan. Apakah mereka (sang model) melihatnya sebagai bentuk
apresiasi terhadap perempuan ataukah eksploitasi? Yang pasti bahwa wanita/
perempuan punya nilai “jual” yang sangat tinggi di dunia media.
KATA
KUNCI : eksploitasi keindahan wanita, wanita di media, perspektif sang model
dalam media.
LATAR BELAKANG
Sudah banyak pembahasan dan penelitian
mengenai eksploitasi tubuh wanita di media. Menurut Matlin (dalam Taylor,
Peplau, & Sears, 2006:336) disebutkan bahwa televisi, film, musik, dan
media masa lain membawa pesan terhadap maskulinitas dan feminisitas.
Media-media masa tersebut membangun stereotip akan wanita dan laki-laki.
Menurut McCauley, Stitt, & Segal
serta Taylor dalam Michener, DeLamater, & Myers (2004:114), stereotip
adalah karakteristik yang ada pada semua anggota dari suatu kelompok atau
kategori sosial. Salah satu macam stereotip adalah stereotip jenis kelamin.
Stereotip jenis kelamin adalah keyakinan tentang sifat kepribadian wanita dan
pria (Sears, Freedman, & Peplau, 1985:194). Salah satu stereotip yang
berkembang akibat pengaruh media adalah wanita adalah objek dalam media,
sementara laki-laki adalah subjek.
Sebagai tambahan, sudah banyak
penelitian yang menunjukkan hal tersebut. Contohnya adalah penelitian oleh
McArthur & Resko (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2006:337) yang menunjukkan
bahwa 70% dari laki-laki di iklan televisi dilambangkan sebagai seorang ahli,
sementara 86% dari wanita adalah modelnya. Selain itu, dalam penelitian lain
oleh Archer (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2006:337), ditemukan bahwa
dalam foto-foto di majalah dan surat kabar Amerika, laki-laki lebih difokuskan
pada wajahnya, sementara wanita difokuskan pada tubuhnya.
Penelitian-penelitian lain juga
menunjukkan hal yang serupa. Fokus pada tubuh wanita tidak hanya ditemukan pada
majalah dan surat kabar, tetapi juga talk show televisi dan iklan-iklan. Hal
ini semakin menegaskan stereotip yang berkembang bahwa wanita hanyalah objek
utama dalam media.
Dalam
peneliatian ini penulis mencoba menelaah / melihat dari sudut pandang objek,
atau dari perspektif sang model, dan mencoba mendalami mengenai:
1.
Mengapa daya tarik wanita sering kali dijadikan objek utama dlm sebuah media?
2.
Apa motivasi Objek (sang model) untuk mereka mau / bersedia dirinya diekspose?
3. Psikologi Analisi sang Model
- Ada
keterpaksaan / suka rela
- Merasa dilecehkan
/ malah berbangga diri
4.
Apakah Media patut disalahkan?
5.
Sebuah bentuk eksploitasi atau apresiasi?
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yakni menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan (sang model). Adapun tekhnik yang digunakan pada penelitian ini adalah
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yakni menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan (sang model). Adapun tekhnik yang digunakan pada penelitian ini adalah
-
Tekhnik Observasi
Penulis terlibat langsung dalam pengambilan gambar objek (model) dalam foto session sebuah event yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas fotografer dan sebelum-sebelumnya telah mengikuti beberapa sesi pemotretan model (wanita).
Penulis terlibat langsung dalam pengambilan gambar objek (model) dalam foto session sebuah event yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas fotografer dan sebelum-sebelumnya telah mengikuti beberapa sesi pemotretan model (wanita).
-
Tekhnik Wawacara
Melakukan
deep interview kepada beberapa model untuk memperoleh data-data yang
dibutuhkan.
PERSPEKTIF
Tradisi
Sosiopsikologis
Tujuan dibalik tradisi sosiopsikologis
adalah untuk memahami bagaimana dan mengapa setiap individu manusia beperilaku seperti
yang mereka perbuat (khususnya sang model sebagai objek). Ilmu pengetahuan
dalam tradisi ini mencoba untuk menjawab pertanyaan,“Apa yang memperkirakan
bagaimana pelaku media akan berpikir dan bertindak dalam kondisi sepert ini ? adapun
kaitan teori yang digunakan adalah : teori
social learning, teori sifat dan teori Penilaian Sosial.
ANALISIS
Berikut
adalah data hasil wawancara yang Telah melalui penyempurnaan &
penggalan kalimat pilihan dibawah ini:
Pertanyaan 1 : Pemaknaan model menurut kamu?
Model A : “ Model itu salah satu unsur yang
penting banget, klo gak ada kita sebagai model, lantas apa yang menarik?
Mungkin klo diibaratkan gelas tanpa air
kali ya"
Model B :
“Model ya Object itu sendiri kali ya. Yang di tuntut jadi karya seni yang
menarik, enak di pandang, dan bisa memposisikan dirinya sebagai bintang
utamanya”
Pertanyaan 2 : Perasaan kamu saat jadi objek/model?
Model A : “Perasaanya semangat, tegang, dll.
Dimana saya harus berusaha mengahislkan ekspresi2 menarik yang diinginkan atau
sesuai tujuan dari pemotretan.”
Model B :
“Antusian & Seneng pastinya, bisa jadi object apa lagi kalau hasilnya
memuaskan. Jadi kebanggaan sendiri juga.”
Pertanyaan 3 : Alasan mau menjadi objek (model)?
Model A : “Kenapa yahh? asik ajah, Pokoknya
waktu ngeliat hasil sesuai yang diingkan itu suatu kepuasan tersendiri bagi
saya.”
Model B :
“Itu karena pertama aku hobby eksis di depan kamera. Seneng di puji dan ngelatih
kepercayaan diri juga.”
Pertanyaan 4
: Sharing seputaran pengalamanya jd
model?
Model A : “Tetap tenang, usaha menghasilkan
foto yang terbaik, intinya ekspresi itu bakal muncul dg sendirinya kalau kita
sbg model juga mempunyai mood atau suka dengan pemotretan tersebut. Awalnya emang
canggung atau masih malu-malu tapi stelah beberapa kali bakalan asik banget dan
bakal terbiasa di depan camera.”
Model B : ”Dari hobby ingin bisa menjadi
sesuatu yang menghasilkan juga kali ya, soalnya kalo aku gak mau apa yang aku
lakuin itu ga ada hasilnya . Seneng sih bisa jadi object, Soalnya selain bisa
ngelatih kita buat tampil di depan orang banyak juga kita belajar mengontrol
emosi merubah mimik muka dalam sekejap tanpa harus terpancing. Selain itu juga
karena sering hunting dll kita juga bisa banyak kenal dan dikenal org pastinya.
Ga heran kalo tiba-tiba ada orang yang nyamperin ngajakin kenalan pas dilokasi
atau minta photo baren, Seruu berasa jadi seleb.”
Berdasarkan penggalan data diatas, sebenarnya sudah
menjawab dari beberapa pertanyaan pada tujuan penelitian ini. Bahwa pada
dasarnya, mereka (dalam hal ini objek/model) secara sadar mereka dengan suka
rela, mau / bersedia dirinya dijadikan sebuah objek dan diexpose. Bahkan secara
psikologis mereka merasa senang dan bangga menjadi sebuah bagian dalam
produksi, terutama bila menguntungkan baginya (model).
Lantas yang menjadi pertimbangan berikutnya adalah
sang fotografer / kameraman sebagai pembidik model, dalam temuan ini sepenuhnya
sang model sadar dan percaya akan sang pembidik / pengambil gambar. Jadi
filterisasi perdana ada pada kuasa sang pembidik gambar, karena dengan sangat
leluasa mereka bebas mengambil dari sudut manapun, angle manapun, maupun bagian
manapun.
Apapun yang menurut sang pembidik gambar indah dan
menarik khususnya akan bermanfaat bagi “kepentingan” tertentu, maka tak sedikit
pun moment yang akan dilewatinya.
MENJAWAB
PERTANYAAN PENELITIAN
Penjelasan mengenai mengapa wanita yang
menjadi objek, dapat dijelaskan bila menilik pada chain of activities media
masa dikuasai oleh laki-laki (Kuntowijoyo, et al., 1997:104). Dengan kata lain,
keindahan yang ditampilkan adalah keindahan menurut pandangan laki-laki.
Perempuan sebagai obyek disini adalah
sebagai tempelan yang berlandaskan manfaat atas kepentingan tertentu, dalam hal
ini adalah media baik itu cetak ataupun elektronik. Lantas kenapa perempuan di
eksploitasi sebagai obyek disini? tentunya alasan yang umum adalah nilai jual
perempuan mahal sebab perempuan makhluk yang menawan dalam arti fisik apapun
alasannya hampir pasti orang suka ketika melihat perempuan di televisi atau
media. Ironisnya disini adalah perempuan / wanita cenderung mempunyai fungsi
hanya sebagai keindahan dimana keindahan biologis dimanfaatkan oleh pelaku
media sebagai komoditas dan identitas dari sebuah mutu dan kesan mewah.
Fenomena pengeksploitasian tubuh wanita
sudah terjadi sejak lama, Fenomena pengeksploitasian tubuh wanita ini termasuk
ke dalam teknokrasi sensualitas. Teknokrasi sensualitas adalah sebuah upaya
untuk mengontrol dan mempengaruhi masyarakat lewat keterpesonaannya pada
penampilan sensualitas yang diproduksi secara artifisial (Piliang, 2004:343) dimana
tubuh perempuan maupun sifat keperempuanan dijadikan salah satu alat untuk
memancing daya tarik khalayak.
Pesona yang didapat oleh masyarakat
muncul dari persepsi visual. Sehingga, muncullah budaya penggunaan tubuh wanita
di media sebagai alat untuk mempengaruhi masyarakat. Aspek lainnya adalah
perilaku dan aktivitas tubuh, yang dapat dilihat dari ekspresi tubuh, seperti
pose dan pakaiannya.
Kebebasan dalam mengaktualisasikan diri merupakan hak semua orang, sudah
menjadi naluri yang fitrah karena manusia merupakan makhluk yang ingin diakui
keberadaannya dan tidak ada strata baik gender ataupun status sosial dalam hal
ini.
Sangat sulit memang untuk menyatakan
perempuan sama dengan laki-laki, baik dengan mengatas namakan potensi ilmiah
maupun potensi lain yang dapat mengidentifikasi kelebihan dari salah satu
keduanya. Adanya perbedaan dari dua jenis manusia itu harus diakui, suka
ataupun tidak. Atas dasar perbedaan itulah, maka lahir perbedaan dalam tuntutan
dan ketetapan hukum, masing-masing disesuaikan dengan kodrat, jati diri, fungsi
serta peranan yang diharapkan darinya baik laki-laki maupun perempuan dan itu
semua demi kemashlahatan bersama.
Perempuan merasa senang, karena itulah
tugas menuntut untuk membuat orang lain senang dan tanpa sadar kalau perempuan
merasa senang bahwa dirinya dieksploitasi. Ekploitasi ini terjadi bukan hanya
atas kerelaan perempuan semata, namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu
sendiri dan apa yang menyebabkan gambaran perempuan dalam media masih cenderung
sebagai objek ? Hal itu terjadi karena yang mendominasi media: pemilik,
penulis, reporter, editor dan sebagainya itu masih didominasi oleh laki-laki.
Sepanjang ini masih terjadi perempuan tidak bisa melakukan banyak hal atau
menuntut beragam kehendak sekitar perubahan citra mereka di media massa.
Fenomena ini lebih ditekankan kepada
para wanita yang mau begitu saja menjadi objek di media. Dalam kajian ini
terdapat teory social learning, yang menekankan pada pembelajaran melalui
observasi dan imitasi model, dimana proses tersebut mengacu pada perkembangan
peran gender (Ciccarelli & Meyer, 2006:378).
Hal ini menunjukkan bahwa anak akan
belajar untuk mengobservasi model yang berjenis kelamin sama dan meniru tingkah
laku mereka. Model yang ada di sini tidak hanya orangtua ataupun orang
terdekat, tetapi juga model dari televisi, film, maupun majalah. Bila dikaitkan
dengan fenomena ini, teori ini akan menjelaskan mengapa para wanita mau
mempertunjukkan tubuhnya di depan kamera.
Dengan kemunculan media di jaman
kapitalisme dan banyaknya wanita yang sudah menjadi objek di media, para wanita
lain kemudian mempelajari bahwa dengan mempertunjukkan tubuhnya, mereka akan
medapatkan kesuksesan secara instan.
Para wanita ini juga dapat dikatakan
memiliki motivasi lebih untuk mendapatkan kesuksesan. Menurut hierarki Maslow,
menjadi seseorang yang terkenal mungkin saja menjadi kebutuhan aktualisasi
dirinya, yaitu kebutuhan tertinggi dari hierarki ini.
KESIMPULAN
Seluruh persoalan eksploitasi wanita di
media tidak terlepas dari kepentingan tertentu, karena didalam sebuah produksi
media banyak sekali kuasa-kuasa yang terlibat didalamnya, berangkat dari kuasa
sang model (objek) itu sendiri sampai kepada khalayak. Lantas dalam hal ini
kita juga tidak bisa serta merta menyalahkan para praktisi media.
Wanita atau perempuan secara filsafat
adalah makhluk humanis, namun tidak berarti lemah untuk melakukan sesuatu yang
sulit dari apapun yang pro atau pun kontra terhadap eksploitasi di media, Sebagai
cara untuk mengatasi permasalahan yang menimbulkan kontra dari berbagai pihak
ini, terutama dari pihak wanita sendiri, maka hal pertama yang harus dikembangkan
adalah adanya kesadaran pada semua pihak, mulai dari kuasa sang model, kuasa
agen, kuasa photografer maupun kuasa khalayak.
Para pelaku terkait hendaknya saling menghargai
kaum wanita sebagaimana mestinya, bukannya malah hanya memanfaatkan wanita
karena keindahan biologisnya saja yang malah akan memperburuk stereotype kaum
wanita. Terlepas dari apakah mereka menyadari akan adanya kontra atau keberatan
dari pihak-pihak tertentu, sudah seharusnya wanita tidak dijadikan "objek
tempelan" pada iklan-iklan agar adanya persepsi pengeksploitasian wanita
pada dunia periklanan dapat segera dihilangkan.
Walaupun secara psikologis wanita
tersebut, secara sadar dan tanpa paksaan sama sekali bersedia untuk menjadi
bagian dari pada setiap produksi dalam media. Bahkan mereka bangga akan bagian
tubuhnya sendiri. Alangkah bijaknya sebuah perwujudan apresiasi terhadap wanita
tetap memperhatikan etika dan sopan santun, juga dikemas secara profesional.
SUMBER REFERENSI
Kuntowijoyo, Damono, S. D., Siregar, A., Ibrahim, M. D.,
Danarto, Redana, B., et al. (1997). Lifestyle Ecstasy. (I. S. Ibrahim, Ed.)
Yogyakarta: Jalasutra.
Michener, H. A., DeLamater, J. D., & Myers, D. J.
(2004). Social Psychology (5th Edition ed.). Belmont: Thomson Learning, Inc.
Piliang, Y. A. (2004). Dunia yang Dilipat. Yogyakarta:
Jalasutra.
Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1985).
Psikologi Sosial (5th Edition ed., Vol. II). (M. Adryanto, Trans.) Jakarta:
Erlangga.
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas EkonomI Universitas Indonesia.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2006).
Social Psychology (12th Edition ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.
ceweknya hot, btw thx artikelnya
BalasHapusseep, sama2..
BalasHapusItulah wanita seperti...seperti kodratnya untuk di jadikan object
BalasHapus